Design your own products at CafePress.com!     
   

Senin

Jangan Melihat Ke Belakang


Niccolo Paganini, seorang pemain biola yang terkenal di abad 19,
memainkan konser untuk para pemujanya yang memenuhi ruangan. Dia
bermain biola dengan diiringi orkestra penuh.

Tiba-tiba salah satu senar biolanya putus. Keringat dingin mulai
membasahi dahinya tapi dia meneruskan memainkan lagunya. Kejadian
yang sangat mengejutkan senar biolanya yang lain pun putus satu persatu
hanya meninggalkan satu senar, tetapi dia tetap main. Ketika para
penonton melihat dia hanya memiliki satu senar dan tetap bermain,
mereka berdiri dan berteriak,"Hebat, hebat."

Setelah tepuk tangan riuh memujanya, Paganini menyuruh mereka untuk
duduk. Mereka menyadari tidak mungkin dia dapat bermain dengan satu
senar. Paganini memberi hormat pada para penonton dan memberi
isyarat pada dirigen orkestra untuk meneruskan bagian akhir dari lagunya
itu.

Dengan mata berbinar dia berteriak, "Peganini dengan satu senar" Dia
menaruh biolanya di dagunya dan memulai memainkan bagian akhir dari
lagunya tersebut dengan indahnya Penonton sangat terkejut dan kagum
pada kejadian ini.

Renungan :
Hidup kita dipenuhi oleh persoalan, kekuatiran, kekecewaan dan semua
hal yang tidak baik. Secara jujur, kita seringkali mencurahkan terlalu
banyak waktu mengkonsentrasikan pada senar kita yang putus dan
segala sesuatu yang kita tidak dapat ubah
Apakah anda masih memikirkan senar-senar Anda yang putus dalam
hidup Anda'? Apakah senar terakhir nadanya tidak indah lagi?
Jika demikian, janganlah melihat ke belakang, majulah terus, mainkan
senar satu-satunya itu. Mainkanlah itu dengan indahnya.

Tangis untuk adikku


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari. orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun
lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua
gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh
sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku
dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan. "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi -tinggi. Tiba-tiba. adikku
mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah. aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu
malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata. "Kak,
jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut
masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.


Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP. ia lulus untuk masuk
ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk
masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu. ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya
mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik.hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita
bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak
buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan
jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke
muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki
harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya , sebelum subuh datang , adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku
dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu
uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku
berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari. aku sedang
belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"


Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar,
dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen
dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman

sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang
akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka

tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh. dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu
debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
"Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
la memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat
semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki
satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu. ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah
telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang,
aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya? la terluka ketika memasang kaca jendela baru itu."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
'Tidak, tidak sakit. Kamu tahu. ketika saya bekerja di lokasi konstruksi,
batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku memunggunginya. dan air mata mengalir deras
turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.


Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami. tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan
dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak
setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut, la bersikeras
memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari. adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu. "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer
tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini.
Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau
mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata. dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: 'Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu
bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa
bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."


la melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun
yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam
untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari. Saya kehilangan
satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya,
la hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di
rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang
yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan
yang paling berbahagia ini. di depan kerumunan perayaan ini. air mata
bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. 
(Dari "I cried for my brother six times -swaramer)

Ibunda, Kenapa Engkau Menangis?


Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya.
"Ibu. mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab. Ibu adalah
seorang wanita. Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya
tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah
mengerti...."

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu
menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?" Sang
ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan".
Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.Lama kemudian, si anak
itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita
menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan."Ya Allah,
mengapa wanita mudah sekali menangis?"
Dalam mimpinya, Tuhan menjawab,
"Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan
bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun
juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi
yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan
bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkah menerima
cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang
menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita. Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau
letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah
Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai
semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun.
Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai
hatinya.


Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang
terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan
kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-
masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang
rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?
Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan
pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak
pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula. kebijaksanaan itu akan
menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri,
sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya. Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan
perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat
digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki
wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan".
Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, karena
di kakinyalah kita menemukan surga.

Lima Menit saja


Seorang ibu duduk di samping seorang pria di bangku dekat Taman-Main
di West Coast Park pada suatu minggu pagi yang indah cerah. 'Tuh.., itu
putraku yang di situ," katanya, sambil menunjuk ke arah seorang anak
kecil dalam T-shirt merah yang sedang meluncur turun dipelorotan. Mata
ibu itu berbinar, bangga.

"Wah. bagus sekali bocah itu," kata bapak di sebelahnya. "Lihat anak yang
sedang main ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itu? Dia anakku,"
sambungnya, memperkenalkan.

Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya. "Ayo Jack, gimana
kalau kita sekarang pulang?"
Jack, bocah kecil itu, setengah memelas, berkata, "Kalau lima menit lagi,
boleh ya. Yahhh? Sebentar lagi Ayah, boleh kan? Cuma tambah lima
menit kok, yaaa.„7'

Pria itu mengangguk dan Jack meneruskan main ayunan untuk
memuaskan hatinya. Menit menit berlalu, sang ayah berdiri, memanggil
anaknya lagi. "Ayo. ayo, sudah waktunya berangkat?"
Lagi-lagi Jack memohon, "Ayah, lima menit lagilah. Cuma lima menit tok,
ya? Boleh ya, Yah?" pintanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Pria itu bersenyum dan berkata. "OK-lah, iyalah..."
"Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar." ibu yang di sampingnya,
dan melihat adegan itu, tersenyum senang dengan sikap lelaki itu.


Pria itu membalas senyum, lalu berkata, "Putraku yang lebih tua, John,
tahun lalu terbunuh selagi bersepeda di dekat sini, oleh sopir yang mabuk.
Tahu tidak, aku tak pernah memberikan cukup waktu untuk bersama John.
Sekarang apa pun ingin kuberikan demi Jack, asal saja saya bisa
bersamanya biar pun hanya untuk lima menit lagi. Saya bernazar tidak
akan mengulangi kesalahan yang sama lagi terhadap Jack. la pikir, ia
dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun, untuk terus bermain.
Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit
memandangi dia bermain, menikmati kebersamaan bersama dia,
menikmati tawa renyah-bahagianya...."

Hidup ini bukanlah suatu lomba. Hidup ialah masalah membuat
prioritas.Prioritas apa yang Anda miliki saat ini? Berikanlah pada
seseorang yang kau kasihi, lima menit saja dari waktumu, dan engkau
pastilah tidak akan menyesal selamanya.